Loading...

Mengenang Awal Masa Kependudukan Jepang di Indonesia

 

KUNINGAN (BK)- 

 Pada tanggal 8 Maret 1942 merupakan lembaran hari pertama secara resmi pergantian pemerintah penjajahan dari pemerintah kolonial Belanda ke tangan pemerintah militer Jepang yang sebelumnya Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun. 

Walaupun masa pendudukan militer jepang terhitung  pendek berlangsung kurang lebih tiga tahun setengah tetapi dampak yang ditimbulkan bagi masyarakat Indonesia sangat luar biasa baik secara aspek politik, sosial dan ekonomi. Karena pemerintah balatentara Jepang mengeksploitir seluruh sumber daya negeri jajahan dilaksanakan secara massiv dan all out.

Diawali dengan ditandatangani perjanjian penyerahan tak bersyarat dari pemerintah kolonial Belanda ke tangan pemerintah pendudukan militer Jepang di Kalijati Subang pada tanggal 8 Maret 1942 maka berakhirlah pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Dan Indonesia memasuki periode baru, yaitu periode pemerintah pendudukan militer Jepang.

Sehari sebelum rekapitulasi tak bersyarat ditandatangani, pada tanggal 7 Maret 1942 tentara Jepang yang menduduki Batavia telah mengeluarkan Undang-undang No. 1 tahun 1942, Undang-Undang ini menjadi landasan pokok peraturan negara pada masa pendudukan Jepang. Isi Undang-Undang dari pasal 2 dan 3 yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 2       : Pembesar bala tentara memegang kekuatan pemerintah tertinggi dan juga segala kekuasaan yang berada di tangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Pasal 3       : Semua Badan Pemerintah kekuasaan hukum dan undang-undang pemerintah dahulu tetap diakui untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer (Lembaran UU Pembesar Balatentara Dai Nippon, Maret 1942)

Dengan di keluarkannya undang-undang no. 1 tersebut secara formal pemerintah militer Jepang di Indonesia telah dimulai. Sementara itu penyerahan secara syah dari pihak pemerintah Belanda ke tangan pemerintah tentara Jepang baru dilaksanakan pada tanggal 8 Meret 1942.

 

Sistem Pemerintahan dan Organisasi

Sistem pemerintahan dan organisasi dilaksanakan secara otoriter dengan gaya militer. Tidak ada unsur legislatif dalam sistem pemerintahan yang ada hanya unsur eksekutif dan unsur yudikatif itupun tidak dilaksanakan secara proporsional.

Untuk mempermudah pengendalian pemerintahan di Indonesia, pemerintah bala tentara Jepang membagi wilayah Indonesia ke dalam tiga wilayah pemerintah, yaitu

Pertama wilayah Indonesia bagian barat yang meliputi pulau Sumatera diperintah oleh pemerintah militer Angkatan Darat (Rikugun) dan dipegang oleh tentara kedua puluh lima berpusat di Bukittinggi Sumatra Barat.

Kedua wilayah Indonesia bagian tengah yang meliputi Pulau Jawa dan Madura. Di perintah oleh pemerintah militer Angkatan Darat (Rikugun) tentara ke enam belas berpusat di Batavia (sekarang Jakarta)

Ketiga, wilayah Indonesia bagian timur yang meliputi Pulau Sulawesi, Kalimantan, Papua, dibawah pemerintah militer Angkatan Laut (Kaigun) di pegang oleh Armada Selatan kedua berpusat di Makasar.

Sementara itu untuk mempermudah pergerakan dan pengendalian massa pemerintah balatentara Jepang membentuk beberapa kali organisasi masa yang disesuaikan dengan kebutuhan pada masanya. Pada awal pendudukan untuk mengenalkan pemerintah militer Jepang dengan masyarakat Indonesia dibentuk organisasi Masa Gerakan Tiga A. Isi dari pergerakan Tiga A, meliputi : 1.Nippon Cahaya, 2. Nippon Pelindung Asia, dan 3. Nippon Pemimpin Asia.

Sebagai koordinator gerakan Tiga A Pemerintah Militer Jepang mengangkat Mr. Samsudin, sedangkan pembantunya diangkat K. Pamuntjak dan Muhamad Soleh. Maksud dari tujuan organisasi gerakan Tiga A adalah menerangkan perlu dijalinnya kerjasama dengan pihak pemerintah militer Jepang dalam segala lapangan demi tercapainya kemakmuran bersama Asia Timur Raya. 

Setelah dinilai berhasil dalam menarik simpati massa bahwa maksud kedatangan pemerintah militer Jepang adalah untuk membebaskan saudara muda di Asia dari penjajahan Barat yang kemudian berikutnya tugas yang diemban adalah menerangi, melindungi, memimpin dan mensejahterakan semua Negara di kawasan Asia Timur Raya. 

Di pihak masyarakat Indonesia,kampanye gerakan Tiga A berhasil menarik masyarakat. Banyak masyarakat  yang terbuai dan percaya bahwa kedatangan Jepang adalah punya misi mulia, sehingga banyak masyarakat yang menerima dan mengelulukan kedatatangan pemerintah militer Jepang sambil berangkulan dan mengucapkan Banzai-banzai terima kasih saudara tua dari Asia.

Akan tetapi pada akhirnya organisasi gerakan Tiga A dinyatakan dibubarkan oleh pihak pemerintah militer Jepang sebagai penggantinya pada tanggal 01 Maret 1943 pemerintah militer Jepang mengumumkan didirikan Ogranisasi masa yang disebut POETRA (Poesat Tenaga Rakyat) sebagai ketua ditunjuk Ir, Soekarno yang dibantu pengurus lain yaitu Muhammad Hatta, Kyia Haji Mas Mansyur dan Ki Hajar Dewantara yang kemudian empat pengurus ini dikenal dengan sebutan empat serangkai.

Pembentukan Poetra ternyata dinilai cukup berhasil dibandingkan Tiga A karena Poetra digerakan oleh tokoh-tokoh nasionalis yang sudah dikenal dan dipercaya masyarakat sehingga tidak heran bila setiap pertemuan umum, lewat rapat akbar atau pertemuan di lapangan terbuka banyak warga masyarakat yang tertarik berdatangan untuk mendengarkan pidato-pidato yang dilakukan oleh tokoh empat serangkai. 

Kemudian dalam perkembangannya beberapa organisasi masyarakat menyatakan bergabung dengan Poetra, seperti PGI (Persatuan Guru Indonesia) beserta anggotanya sebanyak 1.500 orang, Perhimpunan Pegawai Pos Menengah (Mid Post) sebanyak 3.000 orang, Pegawai Pos Telegraf Telepon sebanyak 2.000 orang dan Pegawai Radio Bandung, kemudian tak kalah pentingnya organisasi pemuda juga ikut bergabung seperti Barisan Banteng dan Ikatan Sport Indonesia (ISI)

Di tengah perkembangannya yang semakin membaik ditandai dengan banyaknya anggota dan bergabungnya beberapa organisasi masa maupun pemuda ke dalam Poetra pada akhirnya mengalami nasib yang sama dengan organisasi pendahulunya.

Poetra pada tahun 1944 lewat Panglima Tentara ke enam belas Jenderal Kumaiki Harada, Poetra dinyatakan berakhir dan anggotanya dibubarkan. Pembubaran Poetra didasarkan pada penilaian pemerintah balatentara Jepang bahwa Poetra lebih banyak bermanfaat bagi bangsa Indonesia dan kurang banyak memberi dukungan terhadap pemerintah militer Jepang.

Sebagai pengganti Poetra pemerintah militer Jepang mendirikan organisasi baru yang disebut Jawa Hookoo Kai (Perkumpulan Kebaktian Rakyat Jawa). Pembentukan Jawa Hookoo Kai didasarkan kepada keperluan kegiatan dan dipersatukannya segenap tenaga rakyat lahir dan batin. Dasar semangat dari Jawa Hookoo Kai adalah Hoseisin yaitu semangat kebaktian (Kartodirdjo, dkk SNI VI, 1977 : 166). 

Pemerintah militer Jepang berusaha keras untuk mempersatukan semua kekuatan sosial, ekonomi dan kultural serta kekuatan politik untuk menyelesaikan perang melawan Sekutu dengan seluruh potensi yang ada.

Latar belakang segera terbentuknya Jawa Hookoo Kai bisa dimengerti sebab peta peperangan melawan sekutu di sekitar kawasan Pasifik tentara Jepang semakin terjepit berubah pola dari kekuatan offensive (menyerang), kekuatan defensive (bertahan).

Oleh karena itu untuk mendukung kekuatan Sekutu yang semakin penetratif (mendesak) tentara Jepang berharap banyak mendapat bantuan dari negara-negara yang didudukinya termasuk Indonesia, baik berupa materi bahan bakar dan logistik juga berupa prajurit yang ikut terlibat langsung dalam peperangan.

Untuk lebih mengerahkan potensi tenaga rakyat Jawa Hookoo Kai mempunyai under bow seperti Jawa Seinendan dan Keibodan. Jawa Seinendan adalah barisan penduduk yang dipersiapkan untuk menjadi prajurit cadangan garis pertahanan terakhir. 

Sedangkan Keibodan adalah pembantu polisi dalam mengamankan masyarakat yang tidak menguntungkan pemerintah balatentara Jepang. Selain Jawa Seinendan dan Keibodan Jawa Hooko Kai juga membentuk Heiho dan PETA (Pembela Tanah Air) para komandan dari Heiho dan Peta semuanya dipercayakan kepada masyarakat Indonesia yang dipilih dari tokoh-tokoh dan pemimpin masyarakat terkemuka seperti pegawai pemerintah, pemimpin agama dan tokoh pergerakan nasional.

Selain organisasi kemiliteran Jawa Hookoo Kai juga menghimpun organisasi profesi, seperti kaum guru terbagung dalam wadah Kyokuu Hookoo Kai (kebaktian para pendidik) dan para dokter yang tergabung dalam wadah dokter Izi Hookoo Kai (Kebaktian para dokter) serta Hookoo Kai-Hookoo Kai lainnya.

Dalam rangka melukiskan kehidupan politik pada zaman pendudukan Jepang yang menarik untuk diperhatikan adalah diberikannya perhatian secara khusus kepada golongan Islam. Karena selain kepada golongan pemuda dan profesi pemerintah Jepang sangat menaruh perhatian besar kepada golongan ulama yang mempunyai kedudukan penting dalam masyarakat Indonesia. 

Untuk mewujudkan kerjasama yang baik dengan para ulama, pihak Gunseikan (pemerintah militer Jepang) sering mengadakan kontak dengan para ulama. Organisasi para ulama yang terhimpun dalam wadah MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia) yang pernah hidup di zaman Belanda diizinkan untuk melakukan kegiatan kembali. 

Bahkan pada bulan September 1943 dua organisasi besar umat Islam di Indonesia yaitu Nahdatul Ulama dan Muhamadiyah diizinkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan dan sosial. Bahkan MIAI diminta untuk mendirikan lembaga Baitul Mal. Baitul Mal dalam perkembangannya dinilai berhasil oleh Gunseikan dalam menghimpun dana untuk disumbangkan dalam pembekalan logistik tentara Jepang.

 Sikap Pemerintah Jepang Terhadap Media

Sebagaimana sistem pemerintahan dengan sistem otiriter dan gaya militer. Demikian pula sikap pemerintah militer Jepang memperlakukan media dilaksanakan secara otiriter dan pengawasan secara ketat. 

Yang menarik perhatian adalah pemerintah militer Jepang menyadari benar bahwa media adalah merupakan infrastruktur stategis yang penting untuk dikuasai dan dikendalikan keberadaannya. Pemerintah militer Jepang beranggapan bahwa perang total akan mencapai kemenangan apabila mendapat dukungan bantuan dari seluruh lapisan masyarakat. Bantuan masyarakat Indonesia akan tercapai apabila opini bangsa telah dikuasai dan berada di pihaknya.

Untuk mencapai tujuan itu, pihak Jepang melakukan serangkaian tindakan antara lain penguasaan terhadap media yang ada pada masa itu (surat kabar, majalah, kantor berita, radio dan film) dan sekaligus para tenaga ahli (SDM) dalam bidang tersebut, seperti terhadap para tokoh pers yang berada di Indonesia.

Beberapa buah surat kabar dan majalah yang tersebar di berbagai tempat, yang sebelumnya melakukan usaha penerbitan setalah Jepang datang dilarang terbit. Hal ini diatur oleh Undang-Undang No. 16/5/1942 tentang “Pengawasan Badan Pengemuman dan Penerangan serta Kepemilikan terhadapnya” khusus untuk penerbitan diatur oleh pasal 3 dari Undang-undang tersebut di atas pasal itu berbunyi sebagai berikut “terlarang menerbitkan barang cetakan yang berhubungan dengan pengumuman dan penerangan, baik berupa penerbitan setiap hari, setiap minggu, setiap bulan maupun penerbitan yang tidak tentu waktunya, kecuali oleh badan yang sudah mendapat izin (Latif, 1983 : 16).

Sebagai pengganti terhadap suratkabar yang telah dibekukannya., pemerintah berusaha mengganti dengan cara menerbitkan satu surat kabar untuk setiap provinsi kecuali Jakarta yang mempunyai dua surat kabar. 

Di Bandung atau Jawa Barat yang tadinya terbit enam surat kabar masing-masing Sipatahoenan, Sinar Pasoendan, Kaoem Moeda, Sepakat warta priangan dan Nicorx Express, setelah dihentikan penerbitannya diganti dengan suratkabar Tjahaja yang dipinpin oleh Otto Iskandar Di Nata. 

Di Yogyakarta surat kabar Mataram dan Sediotomo diganti dengan suratkabar Sinar Matahari dengan pimpinan R. Soedjito. Di Semarang surat kabar Locomotif (Bahasa Belanda), Suara Semarang dan Djaja Upaja dihentikan penerbitannya yang kemudian diganti dengan suratkabar Sinar Baru dibawah pimpinan Parada Harahap. 

Demikian pula yang terjadi di Surabaya, beberapa buah suratkabar lokal yang menggunakan bahasa Jawa, Indonesia, Belanda dan Cina diganti dengan suratkabar Suara Asia dibawah pimpinan R. Toekoel Soerodinoto (Kartodirdjo, 1997)

Secara praktis kekuasaan Jepang berakhir di Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1945 setelah kota Naroshima dan Nagasaki dibom atom dan Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu. Tetapi secara de jure dan de facto berahir pada tanggal 17 Agustus 1945. 

Setelah Proklamasi Indonesia merdeka disampaikan oleh pemimpin dwi tunggal Ir. Soekarno dan Bung Hatta. Di Jawa Barat berita Proklamasi dimuat di suratkabar bikinan Jepang harian Tjahaja dua hari secara berturut – turut yaitu pada tanggal 18 dan 19 Agustus 1945 (Tjahaja : hal – 1 tanggal 18 dan 19 Agustus 1945)

Demikian gambaran keadaan politik, sosial, ekonomi dan sikap pemerintah balatentara Jepang terahadap media selama pendudukannya di Indonesia.

Penulis:    Anwar Bahrudin

Penulis adalah alumni jurusan Sejarah UNPAD yang sekarang menjadi kepala UPTD Pendidikan kecamatan Japara Kabupaten Kuningan


Posting Komentar untuk "Mengenang Awal Masa Kependudukan Jepang di Indonesia"