Loading...

Sejarah Linggajati, Dulu Bernama Desa Gede, Warganya Beragama Hindu, Mendunia Karena Jadi Lokasi Perundingan





KUNINGAN (OKE)-  Desa Linggajati Kecamatan Cilimus kini menjadi pusat perhatian. Hal ini karena warganya terus menggelar aksi penolakan terhadap rencana berdirinya hotel di wilayah tersebut.

Penolakan karena akan memberikan dampak negatif. Total ada 7 penolakan yang disuarakan oleh warga. Rencana berdirinya hotel ramai pasca ada rekomendasi dari Forum  Penataan  Ruang Daerah (FPRD).  

Agar mengetahui lebih dekat Desa Linggajati kuninganoke.com akan membaha sejarah desa yang diambil dari berbagai sumber. Salah satunya dari website desa tersebut.

Desa Linggajati adalah sebuah desa yang terletak dibawah kaki Gunung Ciremai , yang menurut penduduk setempat mempunyai sejarah penting baik dalam penyebaran Agama Islam di wilayah nusantara maupun sejarah kemerdekaan Republik Indonesia.

Sebelum menjadi  wilayah  syiar Islam, penduduk Desa Linggajati   dulunya adala  beragama  non muslim yaitu agama  Budha. Dulu desa tersebut dinamai Desa Gede. Nama itu diambil berkaitan dengan keberadaan tempat tersebut berada dibawah kaki Gunung Gede.

Selain dikenal sebagai desa peninggalan para Wali, Desa Linggajati juga dikenal dengan desa bersejarah karena pernah dijadikan tempat perundingan yang berskala International yaitu  sebagai  tempat perundingan antara Pemerintah Belanda dengan Pemerintah Indonesia.

Perundingan itu  untuk berdaulat dan Negara Indonesia yang Demokratis, melalui persetujuan Linggajati yang berlangsung dari tanggal 10 November 1946 sampai dengan tanggal 15 november 1946 yang dikenal pula dengan “Naskah Perundingan Linggarjati”.

Secara spesifik Desa Linggajati mempunyai riwayat khusus yang dimulai kira-kira abad ke 15 Masehi , yaitu pada saat para wali berjuang menyebarkan agama Islam  di bumi nusantara dimana pada waktu itu  mayoritas masyarakat setempat beragama Budha.

Alkisah pada saat itu sekitar tahun 1426 dalam rangka syiar Islam , Para Wali akan menyelenggarakan musyawarah dalam rangka mengatur pengembangan agama Islam (Agama Sejati)  ke pelosok negeri.

Dalam rangka perencanaan tersebut para wali sepakat akan melaksanakan musyawarah (Mangcereman) disebelah timur kaki Gunung  Ciremai yang pada saat itu masih dibernama Desa Gede . Beberapa  Desa yang berada di lembah Gunung Gede pada saat itu antara lain sebelah selatan Desa Rangda Midang.

Kemudian,  Desa Parigi, Desa Copong Koneng,  Desa Cibunar. Lalu, Sebelah Utara  Desa Tarikolot, Desa Sembawa, Desa Japara, dan Desa Depok Lemo.

Pada saat itu, Desa Gede yang dipimpin oleh Kuwu yang bernama Ki Lurah Gede pada masa Kerajaan Padjadjaran di perkirakan dibawah pimpinan  Adipati Timbang Luhur ( Desa Timbang Sekarang ). 

Dan di area perbatasan antara Desa Linggajati dan Desa Linggaindah terdapat  sebuah makam panjang yang diperkirakan makam tersebut adalah peninggalan Satria Padjadjaran yang bernama Gagak Lumayung.  

Diceritakan bahwa pada saat itu sekita abad ke 14 di sepakati adanya rencana musyawarah yang akan di selenggarakan oleh Wali Songo di Gunung Gede (Sekarang Gunung Ciremai) , ternyata hal tersebut didengar oleh Para Kuwu / Kepala Desa yang berada disekitar Gunung Gede.

Sangat mengejutkan para kuwu waktu itu , karena warga t waktu itu masih menganut agama Budha. Hampir semua dari penduduk setempat waktu itu tidak bisa menerima hadirnya agama Islam.

Mereka tetap pada keyakinannya memeluk agama Budha , selain itu pula sebenarnya mereka merasa takut untuk berhadapan dengan  kesaktian para wali , sehingga dengan serempak mereka melarikan diri dengan menggunakan bermacam macam ilmu kemampuannya.

Ada yang berubah wujud agar tidak kelihatan sebagaimana manusia biasa ( Mokswa , Tilem )   atau  meninggalkan desa masing-masing dengan tujuan untuk bersembunyi. Sehingga tidak heran bila ada penduduk desa yang beranggapan bahwa di Gunung Gede ( Gunung Ciremai sekarang )  masih terdapat kehidupan manusia yang tersembunyi.

Sebagai mana kejadian orang  hilang di Gunung Ciremai biasanya sebelum hilang mereka selalu ditemui terlebih dahulu oleh seseorang dari golongan orang tersembunyi atau biasanya di sudutkan ke suatu pemandangan yang melenakan.

Menurut pengakuan  petani yang mengolah hutan sebelah utara kawasan hutan  Linggajati di daerah  kaki Gunung Ciremai sesekali  di kejauhan suka terdengar suara gamelan seperti ada yang tengah hajatan.

Mendengar berita larinya para kuwu disekitar Gunung Gede, para wali menjadi kecewa namun  tidak menghalangi rencana menyelenggarakan musyawarah (Mangcereman) para wali di Gunung Gede  karena musyawarah ini adalah musyawarah tentang syiar Islam ke penjuru nusantara khususnya  pulau jawa.

Selanjutnya para wali pun melakukan perjalanan menuju Gunung Gede  , dengan kesaktiannya masing – masing mereka berangkat menuju tempat tujuannnya dengan menggunakan ilmu seipi  yang menurut cerita ada yang berjalan seperti angin, naik mega dan lainnya.

Lain halnya dengan Gusti Sinuhun Sunan Gunungjati beliau berangkat sendirian , tanpa diketahui oleh 8 (delapan) wali lainnya , dalam perjalanannya beliau beristirahat di suatu daerah yang sekarang bernama Desa Gede ( Desa Linggajati sekarang ).

Tepatnya beliau beristirahat diatas batu yang sampai sekarang batu tersebut masih ada di sebelah selatan komplek Balai Desa Linggajati. Setelah itu Gusti Sinuhun Sunan Gunungjati “Linggar” (Berangkat) menuju puncak Gunung Gede.

Dalam perjalanannya beliau  menggunakan ilmu sejati yaitu berjalan layaknya manusia biasa , di riwayatkan dalam perjalanannya Gusti Sinuhun bertemu dengan seorang wanita cantik yang sedang berjemur sesudah siram (mandi) yaitu di daerah Randa Midang sekitar mata sir Cibunar , dan secara tidak sengaja terjadilah sekilas pandang diantara keduanya sampai kealam hati.

Setelah pertemuan sekilas pandang tersebut Gusti Sinuhun melanjutkan perjalanannya menuju tempat musyawarah di Puncak Gunung Gede. Namun sesampainya di pertengahan Gunung  Gede Gusti Sinuhun Sunan Gunungjati duduk (lingga = linggih) diatas sebuah batu  yang sekarang dikenal dengan nama Batu  Lingga.

Tidak lama kemudian para wali lainnya tiba ke tempat Gusti Sinuhun Gunungjati duduk. Kemudian Gusti Sinuhun menyambut kedatangannya dengan  mengucapkan kalimat : “ Assalamu’Alaikum Ya Walilullah”! , Mendengar ucapan salam Gusti Sinuhun Gunungjati , maka  kedelapan wali lainnya terkejut  dan merasa malu , karena berangkat lebih dulu  namun kedatangannya  didahului oleh Gusti Sinuhun.

Setelah itu akhirnya mereka bersama sama berdoa menghadap arah Kiblat ( arah barat ),dan  memohon kepada Allah SWT agar “kawah” permukaan kawah  Gunung Gede  sama tinggi dengan tempat yang mereka duduki , dan akhirnya doa para walipun terkabul.

Sela beberapa waktu kemudian Para Wali melanjutkan perjalanannya guna acara musyawarah  dipuncak Gunung Gede. Dan dalam isi musyawarah tersebut para wali sepakat untuk menyebarkan ajaran agama Islam ( Ilmu Sejati )  ke seluruh  penjuru  Bumi Nusantara.

Di dalam musyawarahnya  mereka membentuk susunan pengurus dengan susunan sebagai berikut Sunan Bonang  sebagai   Ketua. Lalu, Sunan Gunungjati  Hakim/Imam, Sunan Kalijaga  Penghubung, Sunan Kudus  Patih.

Kemudian, Syeh Maolana Magribi  Jaksa, Syeh Bentong, Syeh Majagung,  Sunan Giri, Syeh Lemah Abang  selaku  Anggota.

Menurut cerita , para wali membuat kesepakatan dalam musyawarahnya untuk seirama, sependapat dan satu langkah di dalam menyebarkan ajaran Agama Islam dan Ilmu Sejati. Namun seorang di antara mereka tidak sependapat bahkan seolah-olah menentang keputusan bersama itu  yaitu  Syeh Lemah Abang .

Setelah para wali  membuat keputusan , selanjutnya mereka turun gunung menuju Desa Gede (Desa Linggajati sekarang ) untuk  beristirahat sebelum melanjutkan perjalanannya menuju Cirebon yaitu hendak melanjutkan tugas tepatnya ke Sunyaragi dan  ke Argasunya.

Di sela - sela istirahat Para Wali mengeluarkan pendapatnya untuk memberi nama tempat istirahat yang pernah di gunakan oleh Gusti Sinuhun Gunungjati  di Desa Gede tersebut. Adapun beberapa pendapat tersebut antara lain.

Pendapat Sunan Kalijaga : Memberi nama Linggajati dengan alasan sebagai tempat linggih (Lingga) nya Gusti Sinuhun Sunan Gunungjati. Lalu,pendapat Sunan Bonang  memberi nama Linggarjati.

Alasan bahwa sebelum Sunan Gunungjati sampai ke puncak Gunung Gede , beliau Linggar (Berangkat) meninggalkan tempat istirahat di Desa Gede menuju Puncak Gunung Ciremai hendak bermusyawarah tanpa mengendarai kendaraan apapun melainkan dengan menggunakan ilmu sejati.

Sementara pendapat Syeh Maolani Magribi  Desa itu diberi nama Linggarjati  mempunyai arti tempat “ Penyiaran Ilmu Sejati. Sedangkan  pendapat Sunan Kudus disebut  Linggajati yang berarti “ nalingakeun Ilmu sejati “ ( Memperlihatkan Ilmu Sejati).

Hal ini karena  di tempat inilah Gusti Sinuhun mulai menggunakan Ilmu Sejatinya untuk menyusul Para Wali yang lain ke puncak Gunung Ciremai sekaligus tempat tersebut juga digunakan umtuk bermusyawarah dan menjaga rahasia Ilmu Sejati jangan sampai diketahui oleh orang banyak.

Konon katanya sejak itulah Desa Gede dikenal dengan nama Desa Linggajati atau Linggarjati dan Gunung Gede sejak itu pula lebih dikenal dengan nama Gunung Cereme yang diambil diambil dari kata Mangcereman (Musyawarah) dan pada masa penjajahan Belanda Gunung Cereme di populerkan dengan nama Gunung Ciremai.

Sementara itu setelah beberapa waktu kemudian , seorang wanita yang pernah bertemu dengan Gusti Sinuhun di daerah Randa Midang dekat Mata Air Cibunar , atas kehendak Allah SWT, maka perempuan itu menjadi hamil dan melahirkan seorang anak laki laki yang kemudian tumbuh  tampan dan perkasa.

Sesampai umur 12 tahun sang anak menanyakan perihal bapaknya kepada ibunya , dan ibunya menjelaskan kejadian apa adanya tentang bahwa ibunya pernah bertemu pandang sampai kedalam hati dengan seseorang yang bernama  Gusti Sinuhun Sunan Gunungjati di hutan  Randa Midang.

Setelah menerima penjelasan tersebut  sang anak memohon doa restu ibu dan langsung  mendatangi Gusti Sinuhun Sunan Gunung Jati di Cirebon dan minta diakui sebagai anaknya. Namun apa yang terjadi ternyata jawabannya menyedihkan , Gusti Sinuhun tidak mau mengakuinya bahkan menolaknya.

Walau demikian Gusti Sinuhun berjanji  “Apabila anak lelaki yang mengaku anaknya sanggup menebangi pohon di hutan Wanantara selesai dalam waktu semalam, maka ia akan mengakuinya sebagai anaknya”.

Dan akhirnya anak tersebut diberi sebuah sabit yang terbuat dari timah , dengan keyakinan yang teguh dan berkat pertolongan dan kasih sayang Allah SWT , maka tugas tersebut dapat diselesaikan tepat waktu sebelum fajar tiba. 

Dan akhirnya Gusti Sinuhun mengakui anak lelaki itu sebagai anaknya seraya memberi nama anak tersebut dengan nama Raja Sulaeman. 

Dan nama Pangeran Raja Sulaeman ini di yakini oleh masyarakat setempat masih ada hingga sekarang  dan dalam beberapa doa dalam kegiatan keagamaan , masyarakat sering mengirim doa kepada Raja Sulaeman.

Begitulah  riwayat asal usul Desa Linggajati ,dimana tidaklah berlebihan dan mengherankan bahwa Desa Linggajati ini sebenarnya sangat erat kaitannya dengan Kesultanan Cirebon karena adanya riwayat tadi.

Berikut beberapa benda peninggalan yang masih ada hingga sekarang diantarannya antara lain :

Balairung

Sebuah bangunan kuno yang dibentuk oleh empat tiang kayu jati berukiran sederhana dan di dalam bangunan tersebut terdapat :

Dogdog dengan ukuran panjang kira-kira 2 m dan lingkaran garis tengah 0,.5 m nampaknya digunakan sebagai alat untuk memanggil warga untuk berkumpul pada waktu itu.

Keris dan tombak.

Peti kayu yang sudutnya dilapisi logam berukir.

 

Batu

Ada dua tempat batu bersejarah yang kemungkinan dipakai tempat duduk para wali pada saat beristirahat dan bermusyawarah, yaitu :


Batu yang berada dilokasi sebelah selatan bangunan Gedung Balai Desa sekarang.

Batu Lingga yang berada di pertengahan jalan menuju puncak G. Ciremai

 

Lisung dan Jubleg

Selain benda-benda tersebut di atas kami dapati lisung terbuat dari kayu nangka dan jubleg batu yang diperkirakan dibuat dan digunakan pada zaman pemerintahan para kuwu desa linggajati waktu itu


Balong Linggajati

Adanya Balong Linggajati ( Balong Kagungan ) yang sekarang dibangun sebagai tempat obyek wisata kemungkinan besar erat kaitannya dengan Riwayat Desa Linggajati menurut orang tua dulu bahwa balong tersebut dibuat oleh Sunan Bonang.Dan untuk kebenaran dan kesempurnaan riwayat ini tentunya hanya Allah saja yang tahu. Kami mengharapkan adanya bantuan dari segala pihak untuk memberikan informasi lebih banyak lagi tentang Desa Linggajati lebih jelas dan bermakna.


Berikut Nama kuwu / Kepala Desa yang memerintah di Desa Linggajati.

Sebelum ada Pemerintahan Desa :

Sunan Bonang ( Yang Telah memberi nama tempat petilasan Sunan Gunung Jati itu dengan nama Linggarjati

Sunan Ampel Denta (putra Sunan Bonang)

Pangeran Panji Kusumadiningrat (Tajirbuntu)

Pangeran Suryadilaga

Pangeran Lingga Kusuma Yuda

Setelah ada pemerintahan Desa :

Pangeran Lurah Gede (Kusumajati)

Ardiwidjaya

Tirtawidjaya

Pangeran Demang Mangku Tuda

Kuda Semangka

Pangeran Muka Giri

Niti Arga

Sura Perguk

Niti Maindra

Jurang Terbis

Jurang Sumengka

Raksa Sumiru

Kerta Sumiru

Jurang Karoban

Jurang Plawira

Surangga Tegi

Sindu Priatna

Palanggamerta

Linggapraja

Demang Ege

Raksa Perwata

Giri Pergalba (Erning Praja)

Kertadiwangsa

Kertadidjaya

Sura Dimerta

Wiradinata

Arsawidjaya

Suradidjaya

Suraatmaja

Argasasmita

Plawirasastra

Sastraperwata

Dulpakar

Eno Usnadi

Nono Sudono

Lili Somali

Unang Unarsan

Djadja M. Ahya, BA


Posting Komentar untuk "Sejarah Linggajati, Dulu Bernama Desa Gede, Warganya Beragama Hindu, Mendunia Karena Jadi Lokasi Perundingan"